Keduanya diduga kerap menjadi penghubung antara pengusaha dan pejabat terkait. Menurut sumber internal yang enggan disebutkan namanya, kedua staf tersebut dipercaya oleh Kabid Tata Ruang dan sering menjemput langsung berkas dari pihak pengusaha. “Kalau tidak melalui mereka, pengurusan KKPR akan sulit, bahkan bisa mandek,” ujar sumber tersebut.
Seorang pengusaha bernama Aliong juga membenarkan hal itu. Ia mengaku pernah mencoba mengurus KKPR secara mandiri melalui situs resmi pemerintah, namun tidak berhasil. “Tapi kalau lewat mereka, prosesnya cepat dan data langsung ter-update. Biayanya memang cukup besar, tapi jadi lebih praktis,” ungkap Aliong.
Sumber lain di lingkungan Dinas CKTR menyatakan bahwa inisial AU disebut-sebut sebagai "perpanjangan tangan" Kabid Tata Ruang dalam mengatur kelancaran pengurusan izin. Bahkan, dalam beberapa kasus, biaya yang diminta kepada pengusaha bisa mencapai puluhan juta rupiah, meskipun retribusi resmi untuk pengurusan KKPR tidak ada.
“Jika benar ada praktik seperti ini, maka ini jelas merugikan banyak pihak, terutama para investor dan pelaku usaha,” ujarnya. Ia juga mendesak agar pihak penegak hukum segera melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan pungli tersebut.
Ketua LSM Perintis, Dirza, juga ikut menyoroti masalah ini. Menurutnya, proses pengurusan izin semestinya tidak mempersulit pelaku usaha. “Izin KKPR seharusnya bisa diakses secara transparan dan tanpa biaya tambahan di luar ketentuan. Jangan sampai investor hengkang hanya karena birokrasi yang menyulitkan,” tegas Dirza. Ia meminta Wali Kota Batam untuk bertindak tegas jika benar ada oknum yang menyalahgunakan wewenang.
Upaya konfirmasi telah dilakukan kepada Kabid Tata Ruang, Evy Yusriani, melalui pesan WhatsApp dan panggilan telepon, namun belum mendapat tanggapan hingga saat ini.
Sementara itu, stafnya, Aulia Akbar, juga belum merespons saat dihubungi lewat sambungan telepon dan pesan singkat. (Tim)